Rabu, 27 Februari 2013

Cerpenku...

PERBEDAAN

Awal dari segalanya

Tak terpikirkan dalam liburan itu aku dapat berkenalan denganmu. Tak terpikirkan bahwa sms-smsmu mempengaruhi hidupku. Liburan yang memang tujuannya untuk refreshing, bukan untuk mengenalmu, apalagi mengenalmu lebih jauh dan menjadikanmu bagian yang lebih dalam dari duniaku, menjadikanmu rutinitas dalam diriku.

Setiap Sabtu sore aku datang ke taman itu untuk mengenangmu, mengenang kebersamaan dan ketidakbersamaan kita. Dulu kamu begitu asing dan kini kita tetap menjadi asing walaupun aku sudah menyerahkan hatiku padamu.

Rasa nyaman di taman itu tetap masih dapat kurasakan, walaupun batinku bergemuruh bagaikan halilintar yang bergejolak dalam dadaku. Semilir angin bahkan tidak dapat meredakan gejolak itu. Hanya awan putih yang beriringan pelan meniti langit di atasku dan cahaya matahari senja yang mengintip di baliknya yang mampu sedikit menentramkan.

Aku menengadahkan kepala, lalu menarik nafas panjang dengan mata terpejam. Kenangan itu kembali melintas dan aku hanya ingin berbagi kenangan itu, kenangan yang mempengaruhi hidupku sampai saat ini dan juga mempengaruhi orang-orang sekitarku.


”Kalau kamu pergi ke sungai dan memasukkan kakimu, kamu akan merasa bahwa air sungai itu dingin. Namun ketika kamu menceburkan dirimu ke dalam sungai itu, airnya menjadi tidak sedingin yang pertama. Bahkan kamu akan merasa bahwa air itu tidak dingin, namun terasa hangat.”

”Kalau kamu mengenalku pertama kali mungkin kamu berpikir bahwa aku ini seorang yang dingin. Namun jika kamu menyelami kepribaDianku, mengenalku lebih dalam lagi, aku adalah seorang yang hangat.” itulah kata-katamu.

Aku cuma berpikir bahwa analogimu itu boleh juga dan berhasil membuat aku penasaran untuk lebih mengenalmu. Walaupun awalnya aku lelah karena aku berpikir kamu bukanlah orang yang terbuka. Kamu cuma ingin berkomunikasi dengan mengirimkan sms, yang pada saat ini bukanlah cara komunikasi yang digemari. Aku sempat berpikir bahwa kamu memang cuma basa basi saja dan tidak terlalu tertarik untuk berkenalan denganku. Namun jika kamu tidak ingin berkenalan denganku mengapa kamu ucapkan analogi itu.

Dengan bertelepon kita bisa mendengar suara kita masing-masing atau dengan internet (facebook) kita bisa melihat foto-foto kita bahkan keluarga, teman dan orang-orang terdekat kita. Sementara saat ini alat komunikasi sudah semakin canggih, teknologi berkembang amat pesat, sikapmu ini merupakan paradoks. Orang berlomba-lomba menjadi orang-orang narsisis, yang pamer tentang keberadaan dirinya, namun kamu amatlah tetutup.

Tapi itulah kamu, berbeda dengan orang lain. Kamu bilang ingin mengenalku lebih dulu dari isi hati dan pikiranku. Bukan dari potret diri dan penampilan luar yang bisa menipu. Kamu ingin kita berkomunikasi, benar-benar mengenal dan bukan hanya untuk memuaskan mata dan telinga.


SMSmu mengalir seperti aliran sungai yang membuat hatiku tenang dan damai. Kadang-kadang juga seperti hujanan peluru yang yang menusuk jantungku namun tanpa rasa sakit, hanya menyisakan degup-degup kencang di dada.

Kamu bercerita tentang hidupmu kemarin, hari ini dan harapan-harapanmu yang telah membuatku kagum meskipun aku tidak pernah melihat wajahmu. Hal itu rasanya tidak begitu penting lagi. Aku sudah terlanjur kagum akan dedikasimu, akan cintamu pada umat manusia. Kisah dirimu sebagai seorang dokter di sebuah puskesmas di desa kecil sudah terlanjur menyentuh hatiku. Kerap aku menyebutmu „orang dusun“. Mungkin itu pulalah yang membuatmu tidak terlalu tertarik dengan teknologi komunikasi.

Kisah dirimu, bagaimana kamu harus melihat banyak pasienmu menderita karena ketidak tahuan mereka mengenai pengobatan. Orang-orang yang masih memilih dukun dan yang mereka sebut “orang pintar”. Bagaimana kamu harus mengurus surat-surat dan banyak hal-hal birokrasi yang kamu rasa tidak terlalu penting dibandingkan nyawa mereka yang harus ditolong terlebih dahulu. Belum lagi ada banyak orang yang juga mengambil keuntungan untuk diri sendiri.

Kamu yang dibayar dengan hasil panen, bahkan rela tidak dibayar jika pasien benar-benar tak mampu. Semuanya kamu lakukan demi menolong orang-orang yang membutuhkan. Kamu memang tidak hidup mewah, namun semuanya dicukupkan. Cukup atau tidaknya itu semua bergantung pada pribadi yang selalu mengucapkan syukur untuk apapun yang diterima. Gaya hidup sederhana membuatmu merasa pendapatan sebagai dokter bisa lebih dari cukup untuk membiayai kehidupan sehari-hari. Kalu ingin punya uang banyak lebih baik jadi pedagang atau pengusaha, bukan dokter, begitu katamu. Menurutmu kebahagiaan justru muncul saat kita bisa berbuat sesuatu bagi sesama. Kepuasan hidup tercapai bukan karena kita memiliki banyak melainkan karena kita bisa memberi banyak. 


Ketika aku bercerita tentang aktivitasku sebagai sukarelawan dalam salah satu kegiatan sosial yang membantu anak-anak marginal. Kamu mempertanyakan motivasiku. Aku katakan dalam salah satu smsku supaya hidupku lebih seimbang ada pasang ada surut, ada tinggi ada rendah, ada juga kegiatan sosial sebagai penyeimbang kegiatan kerjaku sehari-hari. Kamu hanya menjawab bahwa hal itu merupakan motivasi yang aneh dan bertanya apakah aku merasa tidak seimbang ketika menjalankan pekerjaanku

Ketika kukatakan bahwa aku cuma ingin merasa diriku dibutuhkan dan berguna lebih karena aku tidak dibayar untuk mengajar anak-anak itu, sedangkan dalam kerja sehari-hari aku dibayar. Aku berkomitmen meluangkan waktu, tenaga, bahkan uang untuk mereka. Aku berharap saat ini aku menanam kebaikan untuk anak-anak itu sehingga aku bisa menuai kebaikan juga untuk anak-anak tersebut. Aku tidak mengharapkan mendapatkan sesuatu dari mereka.

”Anak-anak merupakan cikal bakal dan tunas yang akan tumbuh menjadi manusia dewasa. Sedari dinilah pendidikan harus diberikan pada anak-anak itu sehingga ketika dewasa mereka bisa menjadi orang yang mandiri. Membantu mereka bukan hanya dalam pelajaran sekolah, namun juga pada masa-masa sulit mereka dengan orang-orang sekitar, teman dan juga keluarga” kataku.

”Sedari mereka kecil, kita membagikan dan mengajarkan tentang kasih dan ketika mereka merasakan kasih itu dan kasih itu bertumbuh dan berakar dalam diri mereka, mereka juga akan membagikan kasih tersebut hingga dewasa. Bukan hanya mereka yang belajar, namun aku juga belajar banyak tentang kehidupan dari mereka. Aku belajar kesabaran, menahan diri, tidak mementingkan diri sendiri dan juga memafkan. Ini juga membentuk pribadiku supaya lebih kuat, juga merupakan bekal untukku ketika aku memiliki anak kelak” tambahku.

”Saya percaya bahwa kamu mencari kebahagiaan. Semua orang, kita semua mencari sesuatu yang lebih baik dalam hidup kita. Apapun yang kita lakukan, tujuan utama dari hidup kita adalah menuju kebahagiaan. Saya percaya bahwa kebahagiaan dapat dicapai lewat latihan mental. Dengan menjalankan disiplin batin tertentu kita dapat mengalami suatu transformasi dalam prilaku kita, dalam pandangan keseluruhan kita dan dalam cara kita menjalani hidup”. Demikianlah kata-katamu dalam salah satu sms-mu. Kata-kata yang membuatku semakin kagum padamu.

Bagimu adalah hal biasa jika seseorang memberi di dalam kelebihannya, yang luar biasa adalah jika seseorang tetap dapat memberi meskipun di dalam kekurangannya.


Akhirnya kamu menelponku juga, walaupun aku sudah tidak bergitu tertarik lagi untuk kamu telepon. Hari-hari dengan SMSmu sudah membuatku hidupku lebih berwarna dan rasanya itu cukup buatku.

Kamu menelponku karena dalam salah satu smsku aku meminta informasi tentang dokter yang dapat membantu memberikan pengobatan gratis pada salah satu anak didikku yang mengalami kecelakaan. Hal ini sungguh penting buatmu, kami cepat sekali dan sungguh-sungguh tergugah untuk hal-hal kemanusiaan. Ketika hal ini kukatakan padamu kamu hanya terDiam dan melanjutkan.
”Aku hanya berusaha untuk mempertahankan sifat pengasih dan penyayang tetap melekat pada diriku. Hal-hal tesebutlah yang secara otomatis membuka pintu hati kita, sehingga kita memiliki perasaan yang hangat dan membuat kita bahagia karena kita berguna bagi orang lain.” demikian jawabmu.

Itulah awal cerita-cerita kita tentang kehidupan. Kataku “Kebahagiaanku adalah ketika aku tahu bahwa aku telah ditebus dari dosa dan keselamatan telah ada di tanganku. Kehidupanku menjadi begitu berharga dan itu semua semata-mata karena anugerah. Hidupku telah ditebus dan harganya telah dibayar. Karena itulah aku berusaha membagikan dan menularkan kebahagiaan itu kepada orang-orang di sekitarku, supaya mereka juga merasa apa yang telah kurasakan”.

Kutambahkan “Sepertinya sulit dengan situasi dan kondisi dunia sekarang ini. Namun perasaan bersyukur dan mengetahui bahwa ada yang mengendalikan hidupku, membuatku memiliki harapan dan damai sejahtera. Aku menikmati apapun yang saat ini kumiliki, meskipun mungkin buat orang lain tidaklah seberapa. Apapun yang kuterima berusaha kubagikan untuk orang-orang sekitarku.”


Lalu aku bertanya padanya tentang Tuhan. Apa yang dipikirkannya tentang Tuhan. Kamu mengirimkan sebuah surat padaku. Dan ketika aku membacanya aku hanya bisa mengeluarkan air mata. Kamu membuatku amat sangat terharu dengan surat itu.

Suratmu-Jika Tuhanku tinggal di Jakarta:

”Saya membayangkan bagaimana seandainya Tuhan tinggal di Jakarta. Yang terlintas dipikiran saya adalah di malam hari mungkin Dia tidur di kolong jembatan dan di siang hari berpergian dengan berjalan kaki bertemankan debu-debu kota. Dia keluar masuk gang sempit yang selokannya kotor di perkampungan kumuh yang padat penghuninya. Bertemu muka dengan bermacam-macam orang dari berbagai latar belakang budaya, berbagai macam sifat dan karakter, berbagai macam profesi, dan berbagai macam mimpi akan kehidupan di kota besar.

Mungkin ada kalanya sesekali Dia naik bus kota, angkutan kota dan bajaj. Saya membayangkan tempat-tempat favorit-Nya: di emperan toko, tempat beristirahat sebelum melanjutkan perjalanan-Nya “keliling Jakarta” dan di tempat penjual makanan gerobak dorong yang mangkal, tempat penjual es teh, membeli nasi pecel, ngobrol santai dengan pemilik warung kelontong, tukang jual rujak, dan beberapa tukang ojek.

Saya membayangkan suatu saat Dia berhenti di perempatan lampu merah. Duduk-duduk di salah satu sudutnya sambil memperhatikan hiruk pikuknya kendaraan yang lalu lalang, asyik bercerita dengan seorang pengemis. Tak lama datang segerombolan anak-anak jalanan yang langsung mengerubungi-Nya dengan gembira, Dia juga menyapa waria-waria yang biasa dijauhi orang dengan ramah dan tulus.

Saya membayangkan menatap-Nya dan memperhatikan ekspresi wajah-Nya. Saya memperhatikan gerak tubuh-Nya. Saya melihat bagaimana tatapan mata-Nya dan senyum-Nya kepada orang-orang itu. Mata-Nya berbinar-binar saat menatap setiap dari mereka, senyum lembut-Nya terus merekah selama Dia bercakap-cakap dengan anak-anak jalanan dan pengemis, sepertinya Dia juga bersenda gurau dengan mereka. Mereka tertawa tergelak-gelak, Hmm…apa yang Dia ceritakan pada mereka yah? hingga mereka tertawa-tawa begitu? Kenapa kelihatannya mereka begitu tertarik dengan cerita-Nya?

Mata-Nya yang berbinar-binar menatap pengemis dan anak-anak jalanan membuatku menyadari fakta bahwa bagi Tuhan manusia tetaplah ciptaan-Nya yang unik dan terbaik. Di mata-Nya yang terpenting adalah hati dan jiwa kita, bukan penampilan fisik, kondisi ekonomi, status, usia dan lain-lain.

“Pasti tutur kata-Nya halus dan suara-Nya lembut merdu…” saya berbisik dalam hati,.

Saya pikir pasti puskesmas-puskesmas dan rumah sakit- rumah sakit pemerintah itu yang juga jadi tempat favorit-Nya karena banyak pasien dari kalangan rakyat jelata di sana, yang mungkin keberadaan mereka hampir tidak mungkin ada di rumah sakit- rumah sakit lain, termasuk rumah sakit - rumah sakit swasta yang menyandang “Nama-Nya” seperti rumah sakit Kristen, rumah sakit Katolik, rumah sakit Islam dll.

Saya membayangkan pada suatu hari Dia di Rumah sakit pemerintah, di depan ruang-ruang Poli Kesehatan seperti Poli penyakit mata, Poli jantung, Poli anak, Poli penyakit dalam, dll. Berjalan-jalan, perlahan-lahan di antara pasien, keluarga pasien, dokter-dokter, Ko-ass yang sibuk lalu lalang, sambil sesekali menyapa lembut beberapa pasien. Menanyakan bagaimana perasaan mereka, duduk di dekat beberapa keluarga pasien yang sedang kebingungan tentang biaya pengobatan yang masih saja tidak terjangkau, mendengarkan keluhan mereka, menatap muram dan penuh belas kasihan kepada mereka yang sakit dan tidak berdaya ini, dan menatap gemas kepada beberapa dokter spesialis dan ko-ass yang melintas di antara pasien dengan dagu terangkat angkuh dan wajah kaku.

Yahh, memang Tuhan pasti ada di mana-mana di Jakarta ini, di tengah penumpang bis yang berdesak-desakan, mungkin sesekali di ruang-ruang pengadilan, di ruang-ruang direksi, di ruang sidang DPR dll. Namun mengapa tidak terpikirkan oleh saya bahwa Tuhan ada di tempat-tempat ibadah ataupun tempat-tempat yang Dianggap suci oleh manusia. Mungkin karena Tuhan tidak dibutuhkan di tempat itu. Mungkin manusia sudah merasa suci sehingga tidak butuh Tuhan di tempat itu.Untuk itulah Tuhan datang bukan untuk orang-orang kaya namun tinggi hati, tetapi untuk orang-orang yang rendah hati dan membutuhkanNya”

Mataku berkaca-kaca membaca suratmu bahkan suratmu itu merupakan teguran yang amat sangat. Mambuatku kembali terkagum-kagum padamu. Setiap hari, di dalam pikiranku  hanya ada kamu.

Kita sering bertukar pikiran, berargumantasi di telepon. Berbulan-bulan sudah kita berbagi cerita dan membuka diri. Sampai-sampai akhirnya tagihan telepon kita membengkak. Tapi itu tidak membuat kita berhenti berbagi cerita, karena kita menyadari bahwa kita saling membutuhkan.


Akirnya kamu putuskan untuk mengatakan seluruh perasaanmu. ”Susan, kamu adalah orang yang membuat hidupku berwarna, bermakna dan bergairah. Aku memerlukanmu dan membutuhkanmu. Sepertinya aku telah menemukan sesuatu yang berharga yang dapat menemaniku di kehidupan ini. Aku sayang kamu. Maukah kamu berjanji untuk menemaniku di kehidupan ini?” tanyamu.

Aku tentu saja sangat terkejut. Meskipun aku merasakan hal yang sama, namun aku merasa bahwa kita harus bertemu dan melihat wajah kita sebelum melangkah lebih jauh. Sebelum berkomitmen untuk menjadi sepasang kekasih. Lagi-lagi kamu meminta yang aneh. Kamu meminta komitmenku saat itu juga.

Koko, demikian aku memanggilnya. Rasa yang kunamakan cinta itu datang tanpa bisa kucegah. Meski aku tahu, cinta kami akan sulit. Tapi, aku tak berdaya, meski aku sadar, aku belum pernah bertemu dan mengenalnya lebih dalam. Aku sangat menyadarinya. Maka, dengan susah payah aku coba ingkari rasa itu, walaupun akhirnya kuputuskan untuk mencoba.

”Koko, aku juga sayang kamu, aku juga memerlukan dan membutuhkanmu, namun aku masih bingung karena aku belum melihatmu”
”Siapa bilang kamu belum melihatku, kamu melihatku melalui mata hatimu. Apakah itu tidak cukup untukmu?” suaramu berusaha meyakinkanku.
”Baiklah, Koko. Aku akan mencoba” jawabku akhirnya. Karena mendengar jawabanku, barulah akhirnya kamu setuju untuk bertemu denganku Sabtu pagi di taman itu. Di bawah pohon yang pernah kamu ceritakan.


Kebersamaan

Di taman itulah pertama kali aku melihatmu, menatapku dengan penuh senyum. Bukan hanya bibirmu yang tersenyum, namun kurasakan seluruh tubuhmu tersenyum ketika aku menghampirimu. Terutama mata teduhmu itu. Aku berjalan menghampirimu di satu-satunya bangku, dibawah pohon dalam taman itu seperti tersihir. Seperti ada magnet yang membuatku berjalan terus menghampirimu. Dan ketika aku sudah begitu dekat denganmu aku hanya berdiri mematung dan menatapmu.

Kita berpandangan beberapa detik sampai akhirnya kamu mempersilahkan aku duduk. Kamu menjabat tanganku, kurasakan kehangatan menjalari tubuhku. Saat itulah aku berjanji untuk membuatmu bahagia karena pada saat itu hanya perasaan bahagia yang kupunya. Dan aku bersyukur telah menerimamu menjadi kekasihku. Memang penampilan luar tidaklah begitu penting, namun sorot mata teduhmu itulah yang paling kusukuri pada saat pertemuan pertama kita.

Kembali kita bercerita tentang banyak hal di taman itu. Sambil memandang orang yang lalu lalang, memandang anak-anak yang berkejaran, memandang langit yang biru, memandang pepohonan dan merasakan semilir angin menerpa wajah. Segalanya terlihat dan terasa begitu indah, begitu harmonis karena ada kamu di dekatku. Kita saling memandang dan bertukar cerita tak habis-habisnya hingga lupa untuk makan.

Kamu mengajakku makan di tempat kesukaanmu, memilihkan makanan bahkan meladeniku hingga aku agak jengah. Biasanya wanitalah yang melayani pria namun justru kamulah yang melayaniku sambil tersenyum hangat menentramkan. Kamu membuat aku terpesona dan bersukur bisa mengenalmu bahkan kini telah menjadi kekasihmu.

Demikian setiap Sabtu sore kita selalu bertemu di taman itu. Berbagi cerita, berbagi kisah kehidupan kita. Kadang-kadang kita hanya berDiam diri sambil memandang pepohonan, bunga-bunga yang bermekaran, alam yang bersahabat sambil mengamati kesibukan orang-orang di taman itu ataupun membaca buku dan juga menikmati hembusan angin dan udara sore yang segar di taman itu.


Kita menumbuhsuburkan perasaan itu. Harapan-harapan untuk masa depan kita bersemi dihatiku dan hatimu. Buatmu cinta lebih dari sekedar perasaan emosional, bukan hanya sekedar pelukan, ciuman dan rasa suka. Tetapi cinta harus ditunjukkan dan diperjuangkan. Cinta dapat dicapai jika kita memiliki sikap rendah hati, berani, percaya dan disiplin.

Cinta tidak hanya membahagiakan orang yang dicintai, namun juga membahagiakan pemberi-pemberi cinta, dan lebih dari itu cinta juga menghasilkan keajaiban-keajaiban. Seperti pohon yang rimbun penuh dengan buah, demikianlah buah-buah cinta tumbuh subur pada dahan dan ranting pohon cinta kita. Bukan hanya buah yang bertumbuh subur, daun-daunnya juga rimbun. Katerina di serial Vampire Diaries berkata: “Dunia ini telalu kejam. Bagaimana kita bisa hidup di dalamnya jika kita tidak percaya cinta?” Cinta menjadikan dunia lebih baik.

Cinta itulah yang membuat kita selalu bersama. Cinta dengan sifatnya yang misterius. Justru karena sifatnya yang misteriuslah yang membuatnya sangat spesial dan sangat natural. Perasaan yang hanya dapat dirasakan oleh aku dan kamu. Tak ada duplikatnya di dunia. Tak ada orang lain yang dapat merasakannya dengan cara yang sama. Letupan khusus yang hanya dua manusia yang mengerti. Gejolak murni yang menyatukan frekuensi dua hati. Kerinduan jiwa yang meleburkan dua pribadi. Kekuatan cinta yang membuat segala sesuatu kelihatan tanpa akhir dan abadi.

Di dasar relung jiwaku dan jiwamu bergema nyanyian tanpa kata; sebuah lagu yang bernafas di dalam benih hatiku dan hatimu. Nyanyian cinta yang sanggup membuat duniaku berwarna terang dan membangkitkan semangatku. Kamu yang humoris dan kadang romantis selalu membuat aku tertawa dan merasa bahagia. Belum lagi sifat penyayangmu yang membuatku merasa bagaikan bunga yang mendapatkan kesegaran dari air hujan. Kamu memberikanku semangat baru bagai sinar mentari yang menyinari bumi yang gelap. Kamu mengubah seluruh kehidupanku menjadi sukacita karena cinta itu terus tumbuh subur.

Melodi tentang cinta yang kau nyanyikan menyentuh dasar kalbuku. Nyanyian itu begitu asing di telingaku, namun juga seperti telah kudengar bertahun-tahun yang lalu bahkan sebelum aku terlahir di dunia. Terdengar begitu merdu menyenandungkan nyanyian puji-pujian dan pengagungan, karena memang cinta itu agung adanya. Melodinya terkadang membuat hatiku berdentum dan berdebam begitu keras namun perasaan itu sungguh menenangkan dan menyenangkan.

“Aku terpesona dengan hari-hari yang telah kulalui bersamamu, bahkan di dalam kesendirianku aku tidak merasa sendirian karena ada kamu. Kamu ada di hatiku, di pikiranku bahkan di bibirku. Aku seringkali menyebut namamu, walaupun kamu tidak hadir di sampingku. Dalam setiap pembicaraan dengan siapapun seringkali aku membawamu. Keberadaanmu menambah semangatku, membakar dan memberi inspirasi.” Kataku padanya dan dia menatapku penuh haru.

Demikianlah hari-hari kulewati dengan indahnya, yang kurasakan hidupku seumpama pepohonan yang selalu menggeliat segar, penuh semangat menarikan tarian dibawah teriknya mentari nan cemerlang. Kamulah mentariku tak pernah kusangka bahwa akhirnya datang hujan yang mengguyur pertama-tama membawa kesegaran, namun kini hujan itu turun dengan lebatnya hinggga berganti menjadi badai.


Perbedaan

Aku menghirup udara seolah-olah ingin memasukkan seluruh udara di taman itu ke dalam tubuhku, dan apapun yang bersembunyi di balik udara akan terisap dan mendekat ke arahku. Kubayangkan rasa sakit itu punah, sirna dan hilang seiring masuknya udara itu. Aku menghela nafas, menyeka sudut mataku yang berair dan  menatapmu dengan penuh kesedihan. Biasanya di tempat ini kita berdua merasa nyaman, namun saat ini semuanya berubah. Saat itulah kamu menceritakan perbedaan itu, perbedaan yang menurutmu buatan manusia namun tidak bagiku. Kita tinggal di dalam keheningan beberapa saat.

Bagai tersambar petir aku mendengarkan pernyataanmu. Membuyarkan mimpi-mimpiku, mengobrak-abrik dan mencabik-cabik hatiku, membuat luka di sana. Cahayaku langsung meredup seketika. Ternyata kita berbeda prinsip dan itu pastilah membuatku mundur. Namun kamu tetap merasa bahwa kita berdua bisa mengatasi perbedaan-perbedaan itu. Kamu mengutip perkataan sang Gibran ”Apabila kamu benar-benar mencintai seseorang, jangan lepaskan Dia. Jangan percaya bahwa melepaskan selalu berarti kamu benar-benar mencintai, melainkan berjuanglah demi cintamu itulah cinta sejati.

Kamu menambahkan ”Tuhan itu satu, Susan... hanya cara kita bertemu dengannya yang berbeda-beda. Dunia punya banyak keyakinan dan agama dan Tuhan menciptakan cinta sebagai alat untuk menyatukannya.”
”Maaf Koko, ini prinsip hidupku. Tolong hargai aku, tolong mengerti aku” sahutku.
”Tidak ada maksudku utnuk menyakitimu” sambungmu.”Aku mencintaimu bagiku itu cukup. Untuk apa memikirkan perbedaan, yang kupikirkan justru begitu banyak persamaan. Bukankah perbedaan membuat kita saling mengisi? Aku mencintaimu bahkan sebelum kita bertemu. Aku merasa bahwa kamu adalah takdirku dan aku hanya ingin bersamamu dan tidak akan ada apapun yang dapat memisahkanmu dariku”.

Aku tak kuasa lagi menahan tangisku, yang kulakukan hanya berlari menjauh darimu. Jika aku tetap mendengar ucapanmu aku tahu hatiku pasti luluh. Namun pilihannya adalah terbuang dari keluargaku yang amat menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan. Dalam hatiku juga timbul perasaan bersalah yang begitu besar dan hal ini sanggup mengalahkan rasa cintaku padamu.


Akhir dari kisah

Kulihat awan menghimpun diri. Bergeser pelan-pelan, menyatu dan bertambah berat. Ia yang putih berubah semakin kelam, sedikit demi sedikit melayang turun pada pohon-pohon dan tanaman lainnya. Sore ini hujan turun lagi. Tetes-tetes langit datang bersahutan, di genteng-genteng tanah liat rumah-rumah. Menyapa daun-daun hijau sepanjang jalan, lalu buyar bergantian di atas tanah yang beraroma.

Pagi ini, setelah hujan turun semalam, seharusnya akan jadi pagi yg sejuk & indah. Sudah sepantasnya, karena matahari bersinar samar, meski cahayanya bukan cerah keemasan namun tidak panas membara menyoroti. Batu-batuan berwarna gelap, kelam karena air hujan. Hijau daun tampak semakin hijau, sebab langit tak begitu biru. Masih ada tetes-tetes air bergelayut di antara pohon-pohon besar dan kecil, membiaskan sinar ke arah orang yang memandang. Aku beranjak dari kursi taman, sekadar berjalan pelan-pelan sambil melihat riak-riak genangan dangkal mengalir menyapa satu sama lain, dalam gerakan lambat mereka berjumpa lalu pudar.

Oh, betapa aku ingin berbagi roti ini denganmu; entah kau itu mimpi atau kenangan, paduan dari keduanya, atau paduan dari bukan kedua-duanya. Membaginya jadi potongan kecil-kecil dan mengamatimu mengambilnya dari jari-jariku. Duduk berjongkok di tepi teras, dalam keheningan dan kunyahan lambat-lambat. Melamun terpesona menatap dunia indah yang sementara ini, berbaring bersisian dan merenungkan hidup menakjubkan yang kekal kelak.

Sudah satu jam lebih aku terpekur di taman itu mengenang semua kejadian itu, mengenangmu. Namun semua itu hanyalah kenangan, aku harus menetukan sikap dan membuat keputusan. Orang tuaku tak mengijinkan hubungan ini. Di atas segalanya, aku pun merasa berdosa atas hubungan ini. Hal yang tampaknya indah ternyata tidak membuatku bahagia. Aku dikejar-kejar rasa bersalah dan tidak merasa sejahtera.

Hanya rasa pedih yang kurasakan setiap kali bertemu denganmu. Setelah mengetahui perbedaan itu, aku merasa seperti burung tanpa sayap sehingga tidak bisa terbang, ikan tanpa sirip sehingga tidak bisa berenang. Aku ingin melepaskan segala belenggu ini dan aku ingin ketika terjaga di kala fajar hatiku ringan, seringan awan. Apapun yang menjadi keputusanku, kuharap kamu mengerti.

Aku juga merasa kamu tidak jujur padaku. Padahal kejujuran adalah hal yang kujunjung tinggi. Walaupun kadang menyakitkan namun sangat kuhargai. Kepercayaanku kepadamu pupus sudah. Aku tak sanggup lagi jeritku dalam hati. Aku tak mau menangisi diri, aku harus berdamai dengan hatiku dan mengambil keputusan yang kuanggap tepat. Kugeleng-gelengakan kepalaku untuk mengusir kenangan-kenanganku bersamamu.

Kucoba mengingat dan mengumpulkan waktu-waktu yang telah lewat dengan cepat, waktu yang seakan berlari menjauh meninggalkanku. Aku berusaha mengejar waktu itu untuk kugenggam erat dan tak akan kulepas lagi. Memulai lembaran kehidupanku yang baru, menulis kehidupanku yang baru walau berat dan sepertinya terpaksa. Namun perjalanan yang lalu harus dihentikan sebelum berbelok untuk memulai perjalanan yang baru.

Selasa, 26 Februari 2013

Foto-foto Pertemuan Pertama...

Aku sudah menceritakan pertemuan kembaliku dengan Roy. Tidak lengkap rasanya jika cerita tanpa ada foto-foto. Nah... ini dia foto kenanganku bersamanya... belahan jiwaku, tambatan hatiku, segalaku... :)

Ketika Pertama Kali Menjemputku di Kantor, foto ini diambil oleh Dinar (salah satu teman kantorku)

Ini foto reuni kami... alat Tuhan untuk mempertemukanku dengan tambatan hatiku :)
Saat reuni juga...

Pertemuan Kembali Evvi dan Roy

Bagaimana kami pertama bertemu? Well.., kami satu sekolah dulu (SMA Negeri 3 Teladan) angkatan '91di Setiabudi-Jakarta Selatan. Tidak pernah sekelas, tapi bertemu pada pelajaran agama Kristen (tiap hari Jumat), sering berpapasan di sekolah dan juga di rumah sepupuku. Pernah nginep bareng lho di rumah sepupuku :D... Waktu SMA belum punya perasaan khusus untuknya. Kami bertemu 20 tahun kemudian (2011) ketika akan diadakan acara reuni. Praise the Lord and thanks to Facebook yang menjadi alat pertemuan kembali.

Didahului dengan obrolan di Facebook hingga akhirnya Roy mengajakku untuk datang ke acara futsal di gerejanya yang kebetulan juga gereja sepupuku. Aku sempat bertanya kepada sepupu dan inangtuaku (kakaknya mami) pendapat mereka tentang Roy yang saat itu sudah mengirimkan signal pedekate-nya melalui obrolan di facebook message. Bahkan Inangtuaku dengan semangatnya mendorongku untuk menerima signal itu, demikian juga sengan sepupu-sepupuku. Beliau juga khusus menelponku untuk mengingatkan datang ke acara futsal tersebut.

Pertama kali bertemu setelah 20 tahun berpisah ada sedikit rasa suka (baru sedikit lho...), namun bingung atas sikapnya yang agak cuek tapi juga perhatian. Bingung kan???? Hahahaha... Pertama bertemu di GOR Bulungan di depan pintu kebetulan Roy sedang merokok jadi ngga nganterin aku ke dalem (sebel ngga siiihhhh???). Tapi ngga lama kemudian dia nyamperin aku dan ngajak ngobrol.. (cie.. bikin aku geer). Kebetulan dia juga ajak cewek lain datang ke acara itu (yang untungnya aku tau kemudian kalau itu itonya) jadi aku agak sebel juga, apalagi pas aku pulang dia ngga nganterin, walaupun dari ujung mata aku liat matanya ngga lepas memperhatikanku (cihuyyyy...)

Beberapa hari kemudian akhirnya kami bertemu kembali, sekarang cuma berdua... Nonton bareng "Kung Fu Panda" di Djakarta XXI hihihihi... so sweet kan...??? Setelah nonton kita makan di Soto Ceker Sabang, di sinilah kami mulai merasa cocok.. Roy mengantar pulang ke rumahku dan sejak itu jadi mondar mandir deh main ke rumah  hingga akhirnya kami jadian... Tapi mengingat usia kami yang tidak terbilang muda lagi, kami bukan cuma jadian pacaran lho... Kami merasa dengan latar belakang prinsip, agama, suku, pendidikan yang sama, restu orang tua da juga berdoa pada Tuhan.. maka kami putuskan untuk segera menikah.